Senin, 17 Mei 2010

Pemahaman Tentang Autisme

Pemahaman Tentang Autisme

Pemahaman adalah perilaku indi­vidu yang banyak dipengaruhi oleh faktor penge­tahuan. Pemahaman tentang autisme me­rupakan pengetahuan yang mencakup segala in­formasi yang berhubungan dengan gang­guan pa­da anak dalam perilaku, bahasa, dan sosi­alisasi yang perlu diketahui oleh o­rang tua.

Pengertian

Autisme berasal dari kata “auto’ yang berarti sendiri. Penyandang autisme seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diper­kenalkan sejak tahun 1913 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan itu sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Au­tisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) di­mana terjadi penyimpangan per­kem­bangan sosial, kemam­puan berbahasa, dan kepedulian terhadap se­kitar sehingga a­nak autisme seperti hidup da­lam dunia­nya sen­diri (Handojo, 2003).

Autisme adalah suatu keadaan di­mana seseorang anak berbuat semau­nya sen­diri baik cara berfikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Au­tisme bisa mengenai siapa saja, baik sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak-anak atau­pun de­wasa dan semua etnis (Faisal Ya­tim da­lam Kasih, 2006).

Autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks. Ditandai dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komu­ni­kasi timbal ba­lik, minat terbatas, dan perilaku tak wajar di­sertai gerakan ber­ulang tanpa tujuan (stereo­tipic). Gejala ini biasanya telah terlihat sebelum usia 3 tahun ( Jawa Pos, A­gustus 2005). Han­dojo menyebutkan 2 jenis perilaku autisme, yaitu:

· Perilaku Eksesif (Berlebihan)

Yang termasuk perilaku eksesit adalah hiperaktif dan tantrum (me­ngamuk) berupa menjerit, menye­pak, meng­­gigit, mencakar, me­mukul, dan se­bagainya. Di sini juga sering terjadi anak yang me­nyakiti diri sendiri (self abuse).

· Perilaku Defisit (Berkekurangan)

Yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga di kira tuli, ber­main tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, me­na­ngis tanpa sebab, dan melamun.

Berdasarkan waktu munculnya ga­ng­guan ada dua jenis autisme, yaitu:

- Autisme sejak masa bayi

Yaitu sejak bayi anak sudah me­nunjukkan perbedaan-perbe­da-an di­ban­ding­kan dengan anak non au­tistik

- Autisme regresif

Yaitu ditandai dengan ke­mun­duran kembali perkem­bangan dan ke­mampuan yang diperoleh jadi hi­lang.

Gejala-gejala

World Health Organization (WHO) telah merumuskan kriteria diag­nosis autisme. Rumusan ini dipahami diseluruh dunia yang dikenal dengan ICD 10 (International Classi­fication Disease) 1993. rumusan diagnosi lainnya yang dapat dipakai menjadi panduan adalah DSM IV (Diagnostic Statistical Ma­nual) 1994 yang dibuat oleh Group Psikiatri Amerika Serikat. Isi ICD 10 maupun DSM IV sebenarnya sama.

DSM IV

ICD 10

1. Autistic Disorder

2. Pervasive Developmental Disorder Not Otherise Specified (PDD – NOS)

3. Rett’s Disorder

4. Chilhood Disintegrative Disorder

5. Tidak ada

6. Asperger’s Disorder

7. PPD – NOS

8. PDD - NOS

1. Chilhood Autism

2. Atpical Autism

3. Rett’s Syndrome

4. Other Chilhood Disintegrative Disorder

5. Overactive Disorder With Mental Retardation With Stereotyped Movement

6. Asperger’s Syndrome

7. Other Perpasive Developmental Disorder

8. Pervasive Developmental Disorder, Unspecified

Kriteria DSM IV untuk autisme masa kanak

Ø Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing I gejala dari (2) dan (3).

· Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbale balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala dibawah ini:

- Tak mampu menjalin interaksi social yang cukup memadai: kontak mata kurang, ekspresi muka kurang, hi­dup, gerak-gerik yang kurang setuju.

- Tidak bisa bermain dengan teman sebaya

- Tak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain

- Kurangnya hubungan social dan emo­sional yang timbale balik

· Gangguan kualitatif dalam bidang komu­nikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini:

- Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (dan tidak ada usaha untuk meng­imbangi komu­nikasi dengan cara lain tanpa bicara)

- Bila bisa bicara, biasanya tidak dipakai untuk komunikasi

- Sering menggunakan bahasa aneh dan diulang-ulang

- Cara bermain kurang variataif, ku­rang imajinatif, dan kurang bisa meniru

· Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan ke­giatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala dibawah ini:

- Memperthankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan.

- Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tidak ada gunanya

- Ada gerakan-gerakan aneh yang sa­ngat khas dan diulang-ulang.

- Sering kali sangat terpukau pada ba­gian-bagian benda.

Ø Sebelum umur 3 tahun tampak ada­nya ke­terlambatan atau gangguan dalam bi­dang:

- Interaksi sosial

- Bicara dan berbahasa

- Cara bermain yang kurang vari­atif

Ø Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Ma­sa Ka­nak

Adapun diagnosis banding autisme ini me­liputi:

- Semua Gangguan pervosit lain

- Gangguan sosio emosional sekun­der

- Gangguan attachment reaktif

- Keterbelakangan mental disertai gangguan emosional dan perilaku

- Penyakit gangguan jiwa jenis schizo­phrenia tahap awal

- Pada schizophrenia berat bisa timbul gejala autisme

- Gejala autisme dan kemunduran mental

- Sindroma Rett

Penyebab

Penyebab autisme sendiri masih be­lum jelas benar bagaimana terjadinya gejala (potologi) dari autisme. Beberapa petunjuk me­­­ng­­arah pada kelainan di otak kecil (cere­bellum), kelainan organik seperti pheny­hetonarin, tuberous scle­rosis, fragile x syn­drome, congenital rubella syndrome, dan ke­racunan timbal (Pb). Namun pada kebanyakan kasus anak dengan autistic tidak dapat ditemu­kan dasar penyebabnya. Be­berapa faktor yang disebut sebagai pemicu adalah:

· Faktor Genetika

Para ilmuwan telah lama mengira bahwa autisme adalah gangguan genetika tetapi riset gen tidak mampu meng­identi­fikasikan satu kromosom spesifik atau lokasi. Pada suatu gen yang merupakan area utama kerusakan pada autisme, secara fisik anak-anak autisme jarang sekali yang memiliki kelainan pada tubuh atau wajah seperti anak-anak yang mengalami kerusakan kromosom misalnya down syn­drome.

· Zat kimia beracun

Sebuah laporan dari National Aca­demics of Science (NAS) me­nyatakan bah­wa kom­binasi dari neoro­toksin dan faktor-faktor gene­tika ber­jumlah mendekati 25% dari seluruh ma­salah tumbuh kembang, termasuk autisme. Salah satu bahan kimia yang harus diwaspadai dan dijauhi adalah Poly­chorinated Biplenyis (PcBs) dan pestisida organofosfat. Bayi yang me­miliki PcBs dalam jumlah tertentu mem­­perlihatkan ting­kat kemampuan ya­ng lebih buruk dalam tes pengenalan mu­ka secara visual, ketidak­mampuan bi­la terjadi distraksi dan tes ke­cerdasan.

· Kontaminasi logam berat

Sistem imun tubuh bayi rentan secara genetika, dapat diserang oleh logam berat se­perti:

Timbal (Pb)

Penggunaan cat tembok yang mengundang timbal, sangat berisiko pada anak-anak. Keracunan timbal, secara social meng­­hancurkan masyarakat, khu­sus­nya a­nak-anak karena pengaruh tim­bal dapat meng­urangi tingkat kecerdasan anak.

Mercuri (Hg)

Salah satu sumber mercuri yang dapat mempengaruhi masa pra kelahiran adalah mercuri yang terdapat di dalam amalgam yang digunakan untuk tambal gigi pada wanita yang sedang hamil.

· Vaksinasi

Pada saat sekarang pemberian vaksin dalam kombinasi three in one yaitu vaksin compak (measles), vaksin gondok (mumps) dan rubella yang biasa disebut MMR di­nyatakan sebagai pe­nyelamat jutaan nyawa tetapi berdasar data patologi usus halus yang berhu­bungan dengan jenis virus dari vaksin MMR dapat juga berperan sebagai kon­tributor autisme regresif.

· Virus

Virus herpes, varicella, virus ep­stern bass dan human herpes virus dikaitkan dengan munculnya gangguan kemampuan verbal, ke­jang-kejang demi­e­linasi dan karak­terisatik spectrum autis­me lainnya.

· Gluten dan Casein

Banyak autisme memiliki ketidak­samampu­an dalam mencerna gluten dan casein. Gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum sedang casein adalah protein susu.

· Jamur

Pertumbuhan jamur candida yang ber­lebihan dapat menjadi penyebab uta­ma dari banyak tingkah laku yang tidak pantas dan masalah kesehatan yang ter­lihat pada anak autistic

· Usus Berpori

Racun-racun yang diproduksi jamur dapat mengebor lubang-lubang pada dinding usus. Pada akhirnyas substansi racun ini dapat melukai dan menembus sawar darah otak dengan mencampuri aliran nutrisi ke otak menyebabkan rusaknya kesadaran, kemam­puan kog­nitif, kemampuan berbicara atau tingkah laku.

Penanganan

Peran orang tua dalam penyem­buhan anak penderita autisme sangatlah pen­ting. Se­lain harus melakukan peng­obatan secara me­dis, orang tua juga di­tun­tut bijak dan sabar me­ng­hadapi kon­disi anak. Sebagian besar karena orang tua tidak bijak dan sabar meng­hadapi kondisi anak. Sebagian besar karena orang tua tidak paham dengan pe­nya­kit anaknya. Mereka hanya meng­andalkan terapi tanpa berusaha mencari tahu berbagai hal yang baik dan yang buruk selama proses penyembuhan (Alia da­lam Kasih, 2006)

Menurut Handojo (2003) sangat perlu dipahami oleh para orang tua bahwa terapi harus dimulai sedini mung­kin sebelum susia 5 tahun. Perkem­bangan paling pesat dari otak ma­nusia terjadi pada usia 2-3 tahun. Oleh ka­rena itu penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat.

Jenis-jenis terapi :

- Terapi Perilaku

Berbagai jenis perilaku telah dikembangkan untuk mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus ter­masuk pe­nyan­dang autisme, meng­urangi perilaku yang tidak lazim dan meng­gantinya de­ngan perilaku yang bisa di­terima pada ma­syarakat. Te­rapi perilaku sangat penting untuk membantu para anak-anak ini untuk le­bih bisa me­nyesuaikan diri dalam ma­syarakat.

Bukan saja gurunya harus me­nerapkan terapi perilaku pada saat belajar, na­mun setiap anggota ke­luarga di­rumah harus bersikap sama dan kon­sisten dalam menghadapi anak-anak de­ngan kebutuhan khusus ini. Tetapi pe­rilaku terdiri dari te­rapi okupasi, tetapi wicara, dan meng­hilangkan perilaku yang asosial.

o Terapi Okupasi

Sebagian penyandang kelainan pe­rilaku, terutama autisme juga mem­pu­nyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila disbanding dengan anak-anak se­umuranya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu me­ng­uatkan, memperbaiki koor­dinasi dan ketrampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting di­kuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan me­lakukan semua hal yang mem­butuhkan keterampilan otot jari tanganya seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagai­nya.

o Terapi Wicara

Bagi penyandang autisme yang mempunyai keterlambatan bicara dan ke­sulitan berbahasa. Speech Therapy adalah suatu keharusan tetapi pelak­sa­naan­nya ha­rus dengan metode ABA (Applied Beha­viour Analysis)

o Sosialisasi dengan menghilang­kan perilaku tak wajar

Untuk menghilangkan pe­rilaku yang tidak dapat diterima oleh umum, per­lu dimulai dari kepatuhan dan kontak ma­ta. Kemudian diberi­kan pengenalan konsep atau kognitif melalui bahasa reseptif dan ekspresif. Setelah itu barulah anak dapat di­ajarkan hal-hal yang ber­sangkutan de­ngan perilaku dan tata kar­ma, dan se­bagainya. Agar seluruh pe­rilaku a­sosial itu dapat ditekan, maka pen­ting sekali di­perhatikan bahwa anak juga jangan sampai dibiarkan sendirian, tetapi harus selalu ditemani secara interaktif. Seluruh waktu pada saat anak ba­ngun perlu diisi dengan kegiatan in­teraktif, baik yang ber­sangkutan dengan akademik, Bantu diri, keterampilan mo­torik, sosia­lisasi, dan lain-lain. Jangan lupa sedia­kanlah dan berikanlah imbalan yang efektif.

- Terapi Biomedik (obat, vitamin, mineral, food supplement)

Obat-obatan juga dipakai ter­utama untuk penyandang autisme, tetapi sifat­nya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya di­serahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan mem­pelajari autisme (biasanya dokter spesialis jiwa anak).

- Sosialisasi ke sekolah regular

Di lingkungan sekolah reguler anak-anak ini dapat dilatih untuk ke­mampuan berkomunikasi dengan anak-anak se­bayanya. Sedangkan materi aka­demiknya jika mengalami kesulitan, tetap dapat di­ajarkan secara one on one. perlu diingat pula bahwa bagi anak yang autisme yang masuk sekolah reguler harus di “bayangi” terus oleh shadower atau helper atau prompter.

- Sekolah Khusus

Di dalam pendidikan khusus ini beiasanya telah diterapkan terapi pe­rilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi. Pe­nerapan ramuan tersebut merupakan kelompok-kelompok ma­teri dan aktivitas yang diberikan de­ngan metode Lovaas. Pendidikan anak dengan kebuthan khusus tidak dapat disamakan dengan pen­didikan nor­mal atau regular, karena ke­lainan­nya sangat bervariatif dan usia me­reka juga berbeda-beda.

Namun menurut Hembing, faktor utama kesembuhan anak sa­ngat di­pe­ngaruhi peran orang tua. Orang tua anak penderita autisme di­tuntut lebih banyak tahu dan lebih bersahabat dengan anak. Cara ini bisa mempercepat proses pe­nyembuhan (Alia dalam Kasih, 2006).

Penerimaan Orang Tua Yang Me­miliki Anak Autisme

Peran orang tua dalam pen­yembu­han anak penderita autisme sangatlah pen­ting. Ibu sebagai salah satu dari orang tua anak autisme sangat berberan penting dalam mengetahui per­­kem­­­bangan anak. Hal ini berkaitan dengan sikap penerimaan ibu ter­hadap anak autisme yang ditunjukkan dalam perilaku menghadapi a­nak autisme. Sikap me­nerima setiap anggota keluarga se­bagai langkah lanjutan pengertian ya­itu berarti de­ngan segala kelemahan, ke­kurangan, dan kelebihanya ia seharusnya men­dapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya (Sing­gih D. Gunarsa, 2003)

Penerimaan ibu terhadap anak autisme me­merlukan pengetahuan yang luas tentang au­isme, sehingga ibu akan me­mahami arti dari a­utisme yang se­benarnya. Sesuai dengan pemahaman seorang ibu, maka ibu akan me­erima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan memahami per­kem­bangan anak sejak dini. Jadi pemahaman ten­ang autisme terhadap penerimaan ibu yang mempunyai anak autis perlu dan penting.

Anak “special needs” atau anak dengan kebutuhan khusus termasuk anak yang mengalami hambatan dalam per­kem­bangan perilakunya. Perilaku anak-anak ini yang terdiri dari wicara dan okupasi tidak ber­embang seperti anak-anak pada umum­nya. Pa­ahal perilaku ini penting untuk ko­mu­nikasi dan sosialisasi. Sehingga bila hambatan ini ti­dak diatasi dengan cepat dan tepat maka proses belajar anak-anak tersebut juga a­kan ter­hambat. Oleh karena itu sangat pen­ting untuk melakukan deteksi sedini mungkin bagi anak-anak ini.

Apabila orang tua sudah melakukan detekdi dini maka diharapkan para orang tua tersebut melakukan inter­vensi secara dini pula dengan metode yang ada saat ini, diamtaranya adalah de­ngan meng-gunakan metode Lovaas atau ABA (Applied Behavioral Analysis). Metode ini dipilih karena beberapa alasan, antara lain karena metode ini sangat terstruktur sehingga dengan mu­dah dapat diajarkan kepada tera­pis yang akan menangani anak autis. Materi yang akan diajarkan dengan metode ini juga telah tersedia walaupun harus diter­jemahkan dan disesuaikan dari bahasa Inggris ke ba­hasa Indonesia. Materi ini diambil dari buku “Behavioral Inter­vention for Young Children with Autism” dari Catherine Maurice Adapun kuri­kulum lain adalah dari Ron Mc Leaf ( A Work In Progress) dan Raymond G. Romanczyk (The Bridges Models). Selain metode ABA ada metode lain seperti DTT (Discrete Trial Training), LEAP (Learning Experience and Alternative Program for Preschooler and Parent), Floor Time, Option Therapy, Daily Life Therapy, Holding Th­erapy, dan TEACHH (Teratment and Edu­cation of Autistic and Related Communication Handicapped Children).

Program terapi anak-anak ini bukan suatu program yang singkat. Di­butuhkan wak­tu cukup lama yaitu kurang lebih 2-3 tahun sehingga seluruh keluarga yang terlibat harus ter­motivasi dengan baik dan menyediakan wak­tu secara sukarela. Senua yang terlibat ha­rus menyadari se­penuh­nya tentang apa, me-ngapa, dan bagaimana autisme itu ditangani. Mereka hatus menangani anak mulai dari anak bangun sampai anak tidur, karena anak-anal ini tidak noleh sendiri dan harus ditemani secara in­teraktif. Hanya dengan demikian kita dapat mengisi kekurangan perilakunya dan me­minimalkan gejala gangguan pe­rilakunya, serta men­jadikan “normal” kembali.

Secara akademik materi dalam me­tode ini tekah mencakup perilaku, sosialisasi, dan akademik sebagai persiapan masuk ke sekolah reguler. Jadi apabila anak mampu me­ng­uasai seluruh materi dari dasar, inter­mediate, dan ad­vanced dari metode tersebut, maka anak siap masuk sekolah reguler. Tetapi bukan berarti tugas kita selesai. Mereka tetap perlu dipantau dan di­beri arahan meng­hadapi lingkungan baru.

Sekali lagi sengat perlu dipahami oleh para orang tua bahwa terapi harus dimulai sedini mungkin se­belum usia 5 tahun. Per­kembangan paling pesat dari otak manusia terjadi pada usia sebelum usia 5 tahun. Pun­caknya terjadi pada usia 2-3 tahun. Oleh karena itu penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lam­bat. Se­kalipun demilian tidak ada pilihan lain, anak usia lebih dari 5 tahun tetap perlu diterapi perilakunya (Premitawati, 2005).

Intensitas waktu yang ideal adalah 40 jam dalam seminggu. Jadi rata-rata 8 jam sehari. Tetapi untuk mencapai hasil yang maksinal anak harus ditangi selama anak bangun. Persyaratan ini sangat berat untuk siapapun. Oleh karena itu tidak mungkin terapi anak hanya dilakukan oleh satu orang saja. Jaji disamping terapi di sekolah khusus maka penanganan di rumah justru lebih lama. Untuk ini diperlakukan suatu kerja sama yang baik dan terkoordiinasi serta di­pantau secara in­tensif agar seluruh pro­gram dapat berjalan dengan lancar dan tidak buang waktu.

Banyak orang tua anak dengan ke­butuhan khusus ini menyerahkan pe­nangan­an anaknya pasrah penuh pada ins­titusi puaet te­rapi atau sekolah khusus. Mereka tidak mau tahu lagi dengan urusan pendidikan anaknya. Mereka hanya menyediakan biaya dan pra-sa­rananya saja. Tetapi banyak juga me-reka selalu ingin mencampuri proses te­rapi yang sedang berlangdung, sehingga anak-anak ini terdistraksi (teralih) kon-sentrasi dan per­hatiannya dari materi. Kelancaran proses terapi men­jadi sangat terganggu bahkan terhenti. Ke­dua sikap ekstrem ini sangat nerugikan dan meng­­hambat kemajuan terapi.

Penanganan anak autisme me­merlukan waktu yang lana, bahkan bisa long life, sangat membutuhkan peranan dan par­tisipasi aktif dari para orang tua anak. Kemudian yang perlu diatur adalah waktu setiap harinya. Waktu sangat pen-ting dan ber­harga terutama bagi anak yang masih kecil. Jangan ada hari ter­lewati tanpa interaksi de­ngan anak. Artinya jangan seharipun anak di­niarkan main sendiri atau dibiarkan menonton TV sendiri sehingga para orang tua dan dewasa dapat bersantai dengan bebas.

Oleh karena itu para orang tua sebaiknya huga mengetahui apa yang harus di­berikan kepada anaknya dan ba-ga­imana lelampuan anaknya dalam menyerap materi yang diajarkan (Pre-mitawati, 2005).

Peran orang tua dalam pen­didikan anak autis lanjutin sangat penting. Pertama adalah pekerjaan ru­mah, kedua gemeralisasi yaitu men­tranfer kegiatan yang dipelajari di sekolah ke tempat lain. Hal ini mem-butuhkan peran dari orang tua. Juga mengenai sosialisasi orang tua harus ikut berperan sebab waktu di sekolah hanya se­kitar 6 jam saja, sisa waktu lebih ba-nyak di rumah karena itu kerja sama antara orang tua dam guru perlu sekali. Orang tua adalah orang yang paling kenal dengan anak, jadi guru, dolter, dan terapis harus menfengar infprmasi dari orang tua anak autis. Bersama dengan guru.orang tua mencoba mencari keseimbangan antara harapan dan ke­nya­taan. Sangat penting ada program kun-jungan rumah, orang tua membantu mem­persiapkan jika ada perubahab di sekolah (Vrugteveen dalam Ginanjar 2000).

Agar dapat menikmati hidup, anak autis juga perlu diajarkan untuk bermain secara benar, berinteraksi dengan teman-temannya, dan mengungkapkan emosi-emosinya. Mereka juga perlu dipenuhi kebutuhan-ke­butuhannya akan kasih saying tak bersyarat, perhatian, penerimaan, bim­bingan, dan penghargaan dari orang lain. Bila anak-anak autisme merasa bahwa orang tua dan orang-orang sekitarnya dapat memahami dan menerima keter­batasan yang mereka miliki, dan maka mereka akan lebih tertarik untuk ber­interaksi. Sebaliknya bila mereka merasa bahwa lingkungannya ingin merubah dirinya dan tidak menghargai keunikan-nya atau bila mereka hanya mem­perolah kasih saying bila melakukan sesuatu dan berprestasi maka mereka akan merasa tertekan dan menutup diri.

Peran orang tua dan guru/terapis dalam mengembangkan po­tensi amak secara menyeluruh sangatlah besar. Dibutuhkan usaha dan kerja keras tanpa henti serta kesediaan untuk men-coba berbagai cara untuk menggali potensi anak dan mengem­bang­kannya se­optinal nungkin. Dalam hal ini penting sekali adanya kerja sama yang baik antara suami-istri serta anggota keluarga lainnya. Hangan samapi anak memperolah perlakuan yang berbeda-beda karena orang tua tidak berhasil mencapai kata sepakat tentang bagaimana cara mendidik anak. Bila dapat terjalin kerja sama serta ter­dapat penerapan disiplin yang sama dan konsisten di antara seluruh anggota keluarga, penga­suh, terapis, dan pihak sekolah, maka perkembangan anak tentunya akan lebih pesat dan terarah (Ginanjar, 2000).

Tahapan yang tidak kalah pen­tingnya dalam kehidupan anak autis adalah bagaimana orang tua mengatur kehidupannya di luar sesi terapi. Akan terjadi perbedaan yang sangat luar biasa bila seorang anak diterapi dan dipantau terus menerus oleh orang tua sehingga ia hidup secara disiplin, teratur, tetapi penuh dengan kesempatan untuk mencoba dengan hal baru, sementara anak lain hidupnya dari satu ruang terapi ke ruang terapi lain. Tetapi di luar iru men-jalani kehidupan yang sangat bebas tanpa arah.

Berbagai bukti sudah menunjuk­kan bahwa tata laksana perilaku yang hanya di­laksanakan di ruang terapi dan tidak di­generalisasikan tidak terlalu memnerikan hasil yang memuaskan. Sebaliknya banyak kejadian dimana seorang anak tidak men­jalani terapi secara intensif (karena keter­batasan orang tua) namun diasuh dengan sa­ngat baik oleh orang tuanya hasilnya sangat tidak mengecewakan, mengingat bahwa wak­tu yang dihabiskan di rumah tentu lebih ba­nyak daripada di ruang terapi.

Perlu diingat pula bahwa sesi terapi ini sebaiknya dilakukan secara intensif namun terkendali. Maksudnya di­pastikan jaswal ke­hidupan anak ber­langsung seim­bang antara terapi, bernain bebas, dan ber­santai. Jangan santai orang tua panik dengan ketinggalan anak sehingga terlalu memusat­kan perhatian pada perkembangan kognisi dan melupakan aspek perkembangan anak secara utuh.

Apa yang dapat dilakukan di luar sesi terapi oleh keluarga banyak sekali. Paling tidak anggota keluarga dapat mem­bimbing a­nak untuk melakukan eksplorasi dunia secara intensif dengan teknik yang khusus. Belumlagi bila orang tua menjalani terapi lalu di rumah juga mengajarkan anak untuk menerapkan pengetahuannya tersebut. Atau orang tua membantu anak menerapkan penge­tahuan itu di lingjungan luar rumah se-perti di tempat umum. Dengan demikian anak berkembang secara utuh dan penge­ta­huannya segera dapat diaplikasikan di lingkungan masyarakat. Orang tua juga dapat memastikan bahwa anak memiliki ketram­pilan sosial, kemampuan bina diri, dan kemandirian sesuai dengan tahap per­kem­bangan­nya. Selain itu orang tua harus mengupayakan kemampuan adaptasi dengan lingkungan baru dan itu sulit diperoleh si ruang terapi yang cen­derung rutin dan sama.

Menurut Grace Ketterman (dalam Kasih 2006), memahami anak memerlukan informasi dan waktu untuk memikirkan fakta-faktanya dan meng-aplikasikan penge­tahuan ter­sebut pada setiap anak. Pema­haman autisme me­ru­pakan pengetahuan yang mencakup se­gala informasi yang ber­hubungan dengan au­tisme yaitu merupakan gangguan per­kembangan pada anak dalam hal perilaku, sosialisasi, dan bahasa yang harus diketahui oleh orang tua. Ibu se-bagai salah satu orang tua anak yang autisme sekiranya membutuhkan pe­ngetahuan ten­tang autisme dan dengan be­gitu sang ibu akan bisa memahami dan me­ngetahui ten­tang autisme.

Singgih D. Gunarsa me­nyatakan bahwa sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah ke­lanjutan pe­ngertian yaitu dengan segala kelemahan dan kelebihannya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya. Penerimaan ibu terhadap anak yang autis memerlukan pengetahuan yang luas ten­tang autisme sehingga ibu akan me-mahami arti dari autisme yang se­benarnya. Sesuai dengan pemahaman yang dimiliki se­orang ibu, maka ibu akan me­­nerima kondisi a­naknya dengan mem­berikan kasih sayang, per­hatian, dan mampu untuk memahami per­kembangan anak sejak dini. Penerimaan ibu tidak hanya secara moral saja, tetapi dapat di­aplikasikan ke dalam bentuk perilaku yang memberikan pendidikan pada anaknya dengan menye­kolah­kan pada se­kolah khusus autisme atau lembaga pusat terapi anak kebutuhan khusus. Pen­didikan anak autisme tidak hanya dari sekolah atau terapi saja tetapi juga di­butuhkan peran orang tua dan anggota ke­luarga di rumah. Adapun pendidikan di ru­mah adalah menyesuaikan dengan tu­gas per­kembangan anak dan me­lanjutkan materi dari sekolah khusus autisme.

Apabila orang tua kurang me-miliki pemahaman tentang autisme maka bisa berakibat kurangnya perhatian pada anak dan menganggap anak mengalami cacat atau bah­kan tidak bisa berbicara selamanya.Orang tua adalah penentu ke­hidupan anak sebelum dan sesudah dilahir­kan. Karena itu adalah tang­gung jawab orang tua sepenuhnya untuk me­nentukan apakah akan menggunakan teknik khusus dalam mendidik anak-anak autis atau tidak. Yang jelas anak-anak ini tidak meminta untuk dilahirkan. Mereka ada karena kita para orang tua. Mereka tidak pernah meninta untuk menjadi anakdengan penyandang autisme dan menjadi penyandang autisme tidaklah mudah.

Apapun metode dan terapi yang di­pilih penanganan harus terpadu, ter-struk­tur,dan terorganisir. Pendidikan me-mang penting, tetapi penanganan lain harus pula dipertimbangkan sesuai de­ngan ke­butuh­an dan usia anak. Terimalah keadaan anak apa adanya lengkap dengan kelebihan dan kekurangan se­hingga pe­na­nganan sesuai dengan kebutuhan. Anak merupakan titipan Allah SWT yang ha­rus diasuh dan dijaga dengan baik, dikasihani sebagaimana anak yang sebaya dan yang nor­mal.

DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, Nurwachid. 2008. Pemahaman Tentang Autisme Terhadap Penerimaan Orang Tua Yang Memiliki Anak Autisme. http://fpsikologi.wisnuwardhana.ac.id.180310

Tidak ada komentar:

Posting Komentar